Gotha_an ku ( bagian 1 )


       Jogomertan, sebuah nama desa di wilayah kecamatan Petanahan, kabupaten Kebumen, propinsi Jawa Tengah, berlokasi 14 km dari alun-alun kota Kebumen ke arah selatan melalui jalan raya. Desa ini masuk wilayah dekat pesisir pantai laut Selatan, dengan jarak sekitar 5 km arah utara dari pantai Petanahan. Desa ini dilewati jalan raya dari kota Kebumen menuju kecamatan Puring. Pada bagian utara dibatasi oleh area persawahan yang sangat produktif menunjang pangan. Di sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Puring, dan di sebelah Selatan serta Timur bersebelahan dengan kecamatan Klirong.
       Desa Jogomertan terbilang cukup maju dan mapan dari segi sosial, budaya, perekonomian, pendidikan, dan aspek kehidupan masyarakat lainnya. Infrastruktur desa semakin lengkap dan diperbaharui seiring perkembangan zaman. Sumber daya alam dan sumber daya manusia di desa tersebut sangat mencukupi dan senantiasa diusahakan agar selalu meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Kehidupan sosial desa yang kental namun dapat mengimbangi perkembangan kemajuan zaman.
       Di salah satu sudut desa Jogomertan, tepatnya di daerah gang VIII terdapat sebuah tempat belajar mengajar, lebih tepatnya tempat pendidikan ilmu agama Islam pondok pesantren At-Tauchid yang telah berdiri lebih dari empat puluh tahun yang lalu.
Pondok pesantren At-Tauchid terletak di dukuh Klegen hingga dukuh Remang. Letaknya tepat di tepi jalan desa yang kini sudah berupa jalan aspal. Tidak jauh dari pondok, tepatnya di desa Grogol Beningsari, terdapat komplek makam Waliyulloh Syekh Anom Sidakarsa yang berjarak sekitar 200 meter. Makam tersebut sudah terkenal di penjuru Nusantara, hingga pada bulan-bulan tertentu banyak sekali peziarah hingga dari luar pulau Jawa. Pada hari kamis sore, santri pondok diagendakan melakukan ziarah ke makam tersebut.
       Sejarah berdirinya pondok ini bermula dari sebuah musholla kecil yang telah ada pada masa penjajahan Belanda, berbentuk rumah panggung dari papan, kayu dan bambu beratapkan daun pandan seperti dalam film kisah para Walisongo. Musholla tersebut diimami oleh Almarhum Almaghfurlah K.H. Abdullah Umar yang dikenal sebagai Mbah Dulah Ngumar, beristri Ibu Nyai Baengatun yang dikenal sebagai Eyang Beng.
       Musholla tersebut selain digunakan untuk menjalankan ibadah sholat berjamaah 5 waktu juga digunakan untuk kegiatan mengaji anak-anak kecil dan para orang tua pada malam hari. Pada masa itu, jalan pintas menuju musholla terkenal angker, sementara jalan utama memiliki jarak yang cukup jauh dan gelap karena belum ada layanan program listrik masuk desa, sehingga para santri takut untuk pulang dan memutuskan untuk menginap di musholla tersebut.

       Melihat adanya kebutuhan tempat bagi banyak santri yang menginap di musholla dan adanya santri dari luar kota, kemudian dibuatlah tempat khusus untuk tidur dan belajar para santri.
Bersambung...
Previous
Next Post »
0 Komentar