Bacaan Dzikr Keras, Alloh Tidak Tuli


       Dzikr adalah peribadahan yang diperintahkan oleh Alloh SWT dengan tanpa batas ruang dan waktu kecuali di dalam kamar mandi tempat buang hajat. Ibadah ini juga tidak mewajibkan untuk suci dari hadats kecil maupun besar kecuali bila dzikr yang dilakukan adalah membaca bacaan ayat Alquran. Dzikr dapat dilakukan dalam banyak posisi tubuh seperti berdiri, duduk, tiduran, tanpa harus menghadap kiblat. Dzikr ucapan dapat dilakukan oleh siapapun yang memiliki indera pengucap. Dzikr hati dapat dilakukan oleh siapapun yanh memiliki kesadaran penuh dalam hatinya.

       Dalam praktik dzikr ucapan lisan, sangat banyak kita jumpai kumpulan orang yang berdzikr berjamaah dengan mengeraskan bacaan. Dalam kitab Fatchul_mu'in disebutkan sunnat bagi imam membaca dzikr dengan suara keras dengan tujuan mengajarkan kepada jamaah. Ketika jamaah sudah bisa, imam berdzikr dengan suara pelan. Namun hingga sekarang, banyak dijumpai di masjid/musholla, imam tetap menjalankan dzikr dengan suara keras meskipun jamaah sudah bisa berdzikr sendiri. Praktik yang demikian merupakan salah satu bentuk ajakan berjamaah dalam berdzikr untuk kemudian berdoa. Hal ini tidaklah dilarang, karena berjamaah dalam berdzikr memilki keutamaan yang besar seperti dalam hadits berikut:

Dari Abi Hurairah ra dan Abi Said al-Khudri ra bahwa keduanya telah menyaksikan Nabi saw beliau bersabda: ‘Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan hati turun kepada mereka, dan Allah menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (H.R. Muslim)

Serta tentang keutamaan doa bersama,

Dari Habib bin Maslamah al-Fihri ra –ia adalah seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidaklah berkumpul suatu kaum muslim yang sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengamininya, kecuali Allah mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani)



       Mengeraskan suara dalam berdzikr sudah ada pada masa Nabi Muhammad SAW.

Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: ‘Bahwa mengerasakan suara dalam berdzikir ketika orang-orang selesai shalat maktubah itu sudah ada pada masa Nabi saw” (H.R. Bukhari-Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan,

كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ
Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)
Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat.

       Tentang bacaan keras, sebagian golongan melarang kegiatan tersebut dengan dasar bahwa kita berdzikr dan berdoa pada Alloh, Dzat yang tidak tuli, sehingga tidak perlu mengeraskan suara. Sebenarnya, pemahaman terhadap sifat Alloh yang Maha Mendengar bukanlah demikian. Sifat Alloh Maha Mendengar bukan semata berperan dalam suara/audio seperti pendengaran manusia. Apabila yang dimaksudkan Alloh tidak tuli adalah mendengar suara hamba-Nya, maka pendengaran Alloh akan sama dengan manusia. Sifat Maha Mendengar terlepas dari hal demikian. Apabila pendengaran Alloh adalah pada suara, maka Alloh akan tersakiti oleh suara yang terlalu keras seperti pada pendengaran manusia. Hal tersebut adalah mustahil bagi Alloh. Pembahasan ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan mengingat akidah tentang sifat-sifat Alloh tidak boleh melenceng.

       Suara keras atau pelan tidak akan berpengaruh terhadap sifat Alloh yang Maha Mendengar. Suara keras tidak dibutuhkan oleh Alloh untuk dapat didengar, bahkan bisikan hati pun dapat didengar oleh Alloh. Perilaku mengeraskan suara ketika berdzikir bukanlah untuk diperdengarkan kepada Alloh, justru untuk diperdengarkan kepada diri kita sendiri terutama bagi yang memiliki hati yang tuli karena beberapa hal yang didengar oleh hati dari bisikan nafsu, syetan, dan sebagainya. Hati manusia sebagai tempat dzikr kepada Alloh, adakalanya tuli. Seperti halnya bacaan niat yang digunakan untuk menuntun hati, dzikr juga dimaksudkan untuk menuntun agar hati berdzikr kepada Alloh.

       Para Sahabat diperintahkan oleh Nabi berdzikr dengan pelan karena pada saat itu mereka baru pulang dari peperangan, dalam kondisi capek. Nabi memerintahkan agar berdzikr pelan agar mereka dapat sambil beristirahat dalam perjalanan pulang. Yang disabdakan beliau tentang berdoa pada Dzat yang tidak tuli, hal ini dikarenakan hati para Shahabat telah senantiasa berdzikr pada Alloh, hati mereka  tidak tuli, tidak perlu diperdengarkan bacaan keras untuk menuntun hati itu berdzikr.

       Jadi dzikr keras dimaksudkan untuk diperdengarkan pada hati sendiri. Bila hati tidak tuli, maka tidak perlu mengeraskan bacaan. Bila hati tuli, tidak perlu sungkan untuk mengeraskan bacaan agar hati dapat mendengar bacaan dzikr lisan.

Previous
Next Post »
0 Komentar