Mana Dalilnya???


Ungkapan : " Mana Dalilnya..." merupakan salah satu bid'ah pertama di kalangan umat muslim

       Dalam menjalankan setiap perilaku peribadahan, seorang 'abid memang haruslah tahu dasar hukum atas apa yang dijalankannya. Tidak diperkenankan taqlid buta (serta merta mengikuti seorang 'alim) bagi seseorang yang mampu untuk menemukan dalil. Bagi seorang awam, yang tidak mampu untuk menemukan dalil dasar hukum atas peribadahan, memanglah wajib untuk taqlid karena bahaya dari usaha coba-coba memahami sendiri akan membawa pada kesesatan. Bagi seorang 'alim yang belum sampai pada tingkatan mujtahid akan sangat terpuji dan dianjurkan untuk bertaqlid dibandingkan dengan memaksakan diri untuk berijtihad. Implementasi bertaqlid adalah dengan mengambil guru yang memiliki sanad/silsilah keguruan yang sampai pada Nabi Muhammad SAW.

       Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama.

 https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/08/05/mengharamkan-isbal/

        Pada kesempatan mujahadah khotmul khowajikan malam Jumat tadi, Pengasuh ponpes At-Tauchid, K.H. Misbahul Munir menyampaikan beberapa kajian. Berikut sedikit yang dapat penulis tuliskan. Dalam kehidupan sekarang, sangat sering dijumpai ungkapan : "Mana Dalilnya". Hal tersebut merupakan salah satu bentuk bid'ah pertama setelah Nabi wafat. Pada masa Nabi tidak ada shahabat yang menanyakan dasar hukum instruksi dari Nabi. Apa yang disampaikan oleh Nabi diterima dan dijaga baik oleh mereka tanpa meminta sebuah pembuktian seandainya hal yang disampaikan bersifat ghaib. Apabila ada hal yang belum dipaham, mereka akan bertanya dan ketika sudah dijawab, mereka menerima dengan sami'naa wa atho'na ( kami dengar dan kami taat) bukan qoro,naa wa atho'na (kami baca dan kami taati). Mereka mengikuti Nabi bukan atas sekedar mengikuti dasar dalil, namun mengikuti teladan. Sebuah keteladanan tidak dapat serta merta diikuti melalui sebuah bacaan, namun melalui contoh perilaku dari seseorang yang diikuti. Untuk dapat mengikuti hal tersebut harus melalui guru yang meneladani guru yang juga meneladani gurunya hingga pada Nabi.

       Dalam kajian tersebut ada mustami' bertanya : " Dalam kitab shahih bukhori ada beberapa hadits yang tidak dicantumkan dalam kitab shahih muslim, dan sebaliknya. Bukankah Imam Bukhori dapat mengutip hadits Imam Muslim dan sebaliknya agar kedua kitab tersebut lengkap?" Jawaban dari pertanyaan tersebut : " Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak berguru pada guru yang sama, maka apa yang dituliskan mereka tidak sama. Mereka hanya menuliskan apa yang mereka dapatkan langsung dari guru mereka. Hal di luar itu bukanlah hak mereka untuk membukukannya. Hal ini merupakan salah satu bentuk taqlid pada guru yang lebih 'alim. Meski mereka berdua saling mempelajari hadits di luar pembukuan mereka, hal itu sebagai tambahan wawasan saja bagi pribadi mereka."

       Kajian tersebut ditutup dengan nasihat beliau "Hendaknya seseorang menempatkan diri sesuai dengan kemampuannya dalam menjalankan sesuatu. Tingkatan kita adalah untuk mengikuti para guru yang telah mendapat pemahaman dari guru yang meneladani langsung Nabi Muhammad SAW."


 
Previous
Next Post »
0 Komentar