Crescent Moon



Saat matahari terbenam, adakah dia muncul?


       Hal yang sebenarnya sangat dibutuhkan, namun hanya dilirik pada waktu-waktu tertentu saja, terutama pada akhir bulan Sya'ban dan akhir bulan Ramadhan, yaitu hasil penentuan tanggal pertama bulan Ramadhan dan Syawal. Banyak orang yang tidak mengerti tentang proses yang dijalani dalam menentukan awal bulan tersebut sehingga mereka kadang hanya menghujat hasil yang berbeda dari beberapa metode yang dijalankan. Metode penentuan tanggal awal bulan hijriyah ada dua yaitu metode rukyat dan hisab. Kedua metode tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Rukyat tanpa hisab, akan susah menentukan arah rukyat sehingga dapat tersibukkan mencari posisi dan hilal telah lewat sebelum sempat terlihat. Hisab tanpa rukyat kurang kuat karen belum ada bukti terlihatnya hilal yang diperhitungkan. 

       Adapun Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtima' (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya. Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.

        Hisab secara harfiah berarti perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fitri), serta awal Dzulqo'dah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah). Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah.

       Praktik penggunaan metode rukyat dan hisab sebenarnya bukan pada perhitungan dan hasil rukyatnya namun pada kriteria pengkategorian hasil dari metode hisab yang diperkuat/dibandingkan dengan rukyat. Dalam hal ini ada 2 kategori dalam penentuan tanggal pertama bulan hijriyah dengan metode hisab yakni wujudul hilal dan imkanur rukyah. Kategori pertama mengatakan saat bulan konjungsi sebelum terbenam matahari dan bulan terbenam setelah matahari maka malam ketika matahari tersebut terbenam adalah malam pertama bulan hijriyah. Kategori kedua mengatakan kondisi bulan pada kategori pertama harus dapat dilihat dengan aktivitas mata. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kategori pertama meyakini bahwa hilal itu sudah ada, dan kategori kedua mewajibkan hilal yang ada tersebut harus dalam kondisi dapat dilihat. Pemerintah Indonesia menetapkan perhitungan kategori kedua dengan bulan sebesar minimal 2 derajat dan minimal bulan berumur 8 jam dari waktu konjungsi hingga terbenam matahari. 


       Metode perhitungan tanggal dengan hisab, menggunakan beberapa rujukan ilmiah astronomi yang diantaranya berupa kitab. Di ponpes At-Tauchid Jogomertan, dipelajarkan materi hisab dengan menggunakan kitab Sullam al-Nayyirain. Guru Manshur, begitulah panggilan akkrab pengarang Kitab Sullam al-Nayyirain. Beliau memiliki nama lengkap KH Muhammad Manshur bin 'Abdul Hamid bin Muhammad Damiri al-Batawi, yang lebih dikenal dengan Guru Manshur Jembatan Lima, atau Guru Manshur al-Manshuriyah al-Khairiyah Jembatan Lima Jakarta. Guru Manshur dilahirkan di Jakarta pada tahun 1878 M / 1295 H, dan meninggal dunia pada tahun 1968 M / 1388 H. Ayahnya bernama KH 'Abdul Hamid bin KH Muhammad Damiri, seorang ulama dan guru agama yang terkenal di Jakarta, terutama di daerah sekitar Kampung Sawah, Jembatan Lima. Pengarang Kitab Sullam Al-Nayyirain ini menimba illmu-ilmu keagamaan langsung kepada ayahnya. Sesudah ayahnya meninggal dunia, ia belajar kepada kakak kandungnya, KH Mahbub bin KH 'Abdul Hamid dan kak sepupunya, KH Tabrani bin KH 'Abdul Gani. Selain itu, ia juga belajar kepada seorang ulama dari Meester Cornelis bernama H. Mujtaba bin Ahmad sebelum Guru Manshur pergi ke Makkah selama 4 tahun. Selama belajar di Makkah ia menimba berbagai ilmu dari sejumlah ulama terkenal, seperti Syaikh Mukhtar 'Atharid al-Bogori, Syaikh 'Umar Bajunaid al-Hadhrami, Syaikh 'Ali al-Maliki, Syaikh Sa'id Al-Yamani, Syaikh 'Umar Sumbawa, dan pernah menjadi sekretaris pribadi Syaikh 'Umar Sumbawa.

        Sullam al-Nayyirain fi Ma'rifah al-Ijtima' wa al-Kusufain terdiri dari tiga risalah, yaitu al-Risalah al-Ula membahas tentang ijtima' (conjunction), al-Risalah al-Tsaniyah membahas tentang gerhana bulan  (kusuf), dan  al-Risalah al-Tsalitsah membahas tentang gerhana matahari (kusuf), dan untuk melakukan perhitungan / hisab awal bulan dan gerhana menggunakan khulashah al-Jadawil (kumpulan jadwal/tabel). Dasar perhitungan yang digunakan sistem ini adalah sangat mudah dan praktis, sehingga setiap orang dapat menggunakannya, cara perhitungannya menggunakan sistem penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian (pingporolansudo atau Pipolondo Jawa) yang artinya perkalian, pembagian, penjumlahan dan pengurangan), dan menggunakan jadwal dan tabel yang terdapat dalam buku Khulashah al-Jadawil, tetapi hurufnya masih menggunakan "abajadun", sehingga setiap orang harus terlebih dahulu mengetahui arti dari huruf-huruf tersebut. Mengeni sistem-sistem yang dianut dalam Sullam al-Nayyirain mengikuti sistem yang ditempuh oleh Ulugh Beik. Hal ini diakui sendiri oleh Guru Manshur. Dengan demikian, kaidah-kaidah yang dipergunakannya mengikuti kaidah-kaidah yang berasal dari Ulugh Beik (Ulul Beg). Ulugh Bek memang sangat terkenal dan banyak jasanya dalam sejarah perkembangan astronomi Islam.  Nama lengkapnya ialah Mohammad Taragi Ulul Beg, dilahirkan di Sultaniye dekat Samarkand, 22 Maret 1394 M / 18 Jumadil Awal 796 H. Ulug Bek adalah seorang raja Tartar di Turki yang sangat populer, sebab ia sangat ahli dalam ilmu astronomi. Ia merupakan cucu Timurlenk. Sebelum menjadi raja Turki, Ulug Bek pernah menjabat sebagai gubernur Samarkand. Pada tahun 1421 M, ia mendirikan Observatorium di Samarkand, dan bersama-sama dengan beberapa sarjana ia menyusun data-data astronomis, yang dikenal dengan naman Zeij Ulugh Beyj. Zeyj (tabel) tersebut selesai disusun pada tahun 1437 M, dan pada abad 17, zeij ini diterjemahkan ke bahasa Barat. Dan, zeij tersebut saat ini berada di tangan Anda, para peserta pelatihan Ilmu Hisab KOMMA, dengan judul Hiyal Jadawil.

       Pengetahuan kita mengenai Ilmu Hisab / Ilmu Falak, bukan untuk membuat sensasi perbedaan dengan masyarakat umum ataupun pemerintah. Namun, dengan mengetahui kajian ilmu hisab, kita bisa memahami bagaimana penentuan awal-awal Ramadhan. Mengingat banyaknya metode dan kategori dalam penentuan awal bulan Hijriyah, kita juga bisa memaklumi terhadap perbedaan yang terjadi akibat perbedaan tersebut. Oleh karena itu, hendaknya kita menanamkan nilai-nilai toleransi (tasamuh) saling menghargai antarumat Islam yang berbeda dalam menjalani dan menyikapi awal Ramadhan atau Syawal yang berbeda. Bagi yang berbeda, hendaknya menahan diri dari perbuatan saling mencela. Wallohu a'lam bish-shawab.

http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Biografi/Biografi dan Kisah/Biografi Singkat Penyusun Kitab Sullam al-Nayyirain 


 
Previous
Next Post »
0 Komentar