Layanan Call Me to Hajj (Sebuah Perspektif Berhaji)

Berthawaf pada Ka'bah


Berhaji ke Baitulloh yang merupakan rukun Islam kelima menjadi dambaan setiap muslim di seluruh penjuru dunia. Indonesia yang disebut sebagai negara berkembang dengan angka kemiskinan yang tinggi ternyata justru menjadi negara dengan jumlah jamaah haji terbesar sepanjang masa di antara semua negara di dunia. Pendaftaran haji pada update awal bulan november ini di wilayah Kebumen menunjukkan angka antrian 23 tahun. Sungguh merupakan sebuah bukti kemakmuran dan antusias masyarakat muslim di Indonesia.

Banyak masyarakat yang begitu mendambakan kesempatan berhaji namun hanya menjadi sebuah mimpi bagi mereka. Latar belakang ekonomi menjadi alasan yang aling dominan yang berlaku. Beberapa anggota masyarakat yang mampu namun belum melakukan pendaftaran beralasan merasa belum pantas untuk melakukan ibadah haji. Sungguh hal yang ironis dikala orang yang tidak mampu bermimpi dan berusaha keras agar dapat mencapai harapan mereka, orang yang mampu dengan santai tidak memanfaatkan apa yang telah mereka miliki, dan terus mengumpulkan semakin banyak harta tanpa berusaha menyalurkannya untuk hal keagamaan atau sosial.

Hal yang perlu diperhatikan adalah konsep haji sebagai sebuah kewajiban dan rukun Islam. Seorang muslim yang hendak berhaji harus paham betul dengan haji yang akan dijalaninya sebagai bentuk peribadahan. Banyaknya motivasi dan dorongan beberapa orang dan media terkadang hanya sekedar mendorong untuk berhaji tanpa memprhatikannya sebagai sebuah ibadah, sehingga banyak diantara jamaah yang merasakan berhaji seperti sebuah rekreasi ke luar negeri, menelusuri jejak tempat Nabi berdakwah.

Dalam kriteria wajib berhaji, seorang muslim dikatakan berkewajiban ketika dia (berusaha menjadi) mampu untuk memenuhi beberapa manasik (peribadahan) haji.Ketika seorang muslim sudah memiliki niat berhaji, dia sudah sedang mempersiapkan diri untuk menjadi mampu dan berkewajiban berhaji. Ini adalah langkah awal layanan Call Me to Hajj. Dengan niat tersebut, dia telah mengusahakan koneksi panggilan haji dari dalam dirinya. Hal ini penting diusahakan melihat kewajiban seorang hamba adalah berikhtiar. Dengan melakukan hal tersebut, hamba tidak serta merta pasrah atas nasib yang dijalankan kepadanya.

Hal yang masih ambigu dalam pembahasan niat adalah beberapa aspek penyusunnya. Banyak orang mengatakan :"saya sih ingin berhaji, tapi saya kan tidak mampu..",
Sebuah keinginan belum dapat dikatakan sebagai sebuah niat. Ada selisih makna antara keinginan dan kemauan, dan niat bersumber dari kemauan,bukan keinginan. Sumber keinginan adalah aqal, sedangkan sumber kemauan adalah hati. Sebuah keinginan selalu mempertimbangkan banyak aspek lahir yang cenderung menghambat proses perwujudannya. Sebuah kemauan hanya mempertimbangkan hal positif dan kemajuan hal yang akan dijalankan. Sebuah keinginan pasti akan berakhir dengan kekecewaan meski hal yang diinginkan terwujud. Keinginan yang terwujud akan memberikan kepuasan yang sebenarnya bersifat sementara karena akan diikuti oleh keinginan yang lain. Sebuah kemauan akan berakhir pada keikhlasan dan ketenangan hati baik hal yang dijalankan tercapai atau tidak tercapai.Orientasi kemauan bukan pada sebuah titik hasil pencapaian

Langkah awal yang dilakukan adalah dengan memahami konsep suatu hal sebagai sebuah tanggung jawab diri (baca : peribadahan). Segala sesuatu dilihat sebagai bentuk peribadahan hamba kepada Sang Khaliq. Ketika semua nampak sebagai jalan ibadah, ketika suatu hal memberikan interaksi, maka akan timbul reaksi yang sangat halus ke dalam sanubari. Hati akan memberikan respon terhadap hal tersebut secara bertahap menjadi semakin kuat dan akan  menjadi sebuah kemauan. Ketika kemauan ini disertai dengan beberapa langkah yang berkaitan dengan perihal haji, maka akan dikatakan sebagai niat berhaji.

Pertahankan hal tersebut sebagai niat, dan tunggulah layanan Call Me to Hajj tersebut direspon.


Previous
Next Post »
0 Komentar