SEJARAH DAN DEFINISI ASWAJA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aswaja
Dosen pengampu : Muhdir M. Pd I
Oleh :
1.
Bagus
Gigih Andiyan ( TS11502 )
2.
Jazim
Abdillah ( TI 11505 )
UNIVERSITAS
MA’ARIF NAHDHATUL ULAMA
KEBUMEN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Nabi bersabda
dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu
Dawud bahwa :”Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan
terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka kecuali satu
golongan”. Kemudian para sahabat bertanya ; “Siapakah mereka itu wahai
rasululloh?”, lalu Rosululloh menjawab : “Mereka itu adalah Maa Ana ‘Alaihi
wa Ashabi”.
Dari definisi singkat tentang golongan yang selamat di akhirat
kelak, muncul banyak persepsi dan pendapat tentang kriteria golongan tersebut.
Sebagian memaknai definisi “Maa
Ana ‘Alaihi wa Ashabi” secara tekstual dan disesuaikan dengan pemahaman
masing-masing terhadap dalil dan praktik kehidupan sesuai dengan ajaran Nabi.
Sebagian besar kaum muslim belum
memahami tentang kaidah, kriteria dan karakteristik “Maa
Ana ‘Alaihi wa Ashabi”
yang dimaksud oleh Nabi, sehingga pada praktiknya mereka cenderung menjadi
golongan yang berpandangan sempit dan pada akhirnya tidak mencerminkan ajaran
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
2.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, penyusun merumuskan beberapa
masalah yaitu,
a.
Apa
definisi aswaja?
b.
Bagaimana
sejarah munculnya aswaja?
c.
Bagaimana
prinsip aswaja?
d.
Bagaimana
karakteristik aswaja?
3.
Tujuan
Pembuatan Makalah
Dari rumusan masalah di atas,penyusun bertujuan untuk :
a.
Mengatahui
definisi aswaja
b.
Mengetahui
sejarah munculnya aswaja
c.
Mengetahui
prinsip aswaja
d.
Mengetahui
karakteristik aswaja
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Aswaja
1.
Arti kata aswaja
Aswaja merupakan sebuah singkatan
yang memiliki kepanjangan Ahlus_Sunnah Wal Jamaah. Kepanjangan tersebut
merupakan frase dari kata-kata bahasa Arab yaitu Ahlu, Sunnah, Jamaah. Kata Ahlu diartikan sebagai keluarga,
komunitas, atau pengikut. Kata Al-Sunnah diartikan sebagai jalan atau
karakter. Sedangkan kata Al-Jamaah diartikan sebagai perkumpulan atau kelompok golongan.
Arti Sunnah
secara istilah adalah segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW., baik
berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna
sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW.
dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman,
dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas orang-orang yang
selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. dan jalan para sahabat
beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak
hati.
2.
Pengertian aswaja menurut pendapat ulama
Menurut Imam
Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh
kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam
hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn
Hanbal.
Adapun
menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh
kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama.
Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka
yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu
al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu
al-Hasan al-Syadzili.
Sedangkan menurut Muhammad Khalifah
al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiit
tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi
petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.
Pendapat Said Aqil Siradj,tentang Ahlus sunnah
wal jama’ah adalah “Ahlu minhajil fikri ad-dini al-musytamili ‘ala
syu’uunil hayati wa muqtadhayatiha al-qa’imi ‘ala asasit tawassuthu wat
tawazzuni wat ta’adduli wat tasamuh”, atau “orang-orang yang memiliki metode
berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas
dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi”.
Definisi
di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada
al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan
pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai
dengan ajaran-ajaran Nabi.
B.
Sejarah Aswaja
Istilah
ahlussunnah wal jama’ah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun
di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di
zaman pemerintahan Bani Umayah (41-133 H /611-750 M). Terma Ahlus
sunnah wal jama’ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau
sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada
periode Sahabat.
Pemakaian Ahlus
sunnah wal jama’ah sebagai sebutan bagi kelompok keagamaan justru
diketahui lebih belakangan, sewaktu Az-Zabidi menyebutkan dalamIthaf Sadatul
Muttaqin, penjelasan atau syarah dari Ihya Ulumuddinnya Al-Ghazali: ”idza
uthliqa ahlus sunnah fal muradu bihi al-asya’irah wal maturidiyah “ (jika
disebutkan ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan
Al-Maturidi).
Golongan Islam pada sekitar tahun 40 H
yang muncul ada tiga: Syiah-Ali, Khawarij, dan Muawiyah. Saat perundingan
tahkim terjadi, Ali mengutus Abu Musa Al Asy’ari yang berlatar tokoh
agama, sementara Muawiyah mengutus Amru bin Ash yang berlatar tokoh politik.
Selanjutnya, untuk menguatkan kekuasaan
Muawiyah dengan dalil agama, Muawiyah membuat aliran atau golongan Islam
bernama Jabariyah yang mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia adalah
kehendak Allah. Sehingga, apa yang kita lakukan sudah menjadi takdir Allah.
Aliran Jabariyah juga didukung sejumlah ulama yang dekat dengan Muawiyah.
Saat ajaran Jabariyah menyebar, tidak semua ikut aliran ini. Aliran
Jabariyah digunakan untuk melegimitasi atas kekuasaan Muawiyah dari tangan Ali,
karena peperangan dan kemenangan Muawiyah semuanya sudah ditakdirkan oleh
Allah. Dari sini, aliran Islam sudah empat, yaitu Syiah, Khawarij, Muawiyah,
dan Jabariyah (kelanjutan dari Muawiyah). Semua pengikut Muawiyah bisa
dikatakan setuju dan ikut aliran Jabariyah. Salah satu dalil dalam Al Quran
yang digunakan Jabariyah adalah “Wamaa ramaita idzromaita walaaa
kinnalllaaha ramaa”
Merebaknya ajaran Jabariyah membuat
situasi semakin rumit, banyak orang-orang yang malas bekerja karena yakin bahwa
apa yang ia lakukan adalah kehendak Allah. Pun, pengemis banyak bermunculan
akibat doktrin aliran Jabariyah ini dan perekonomian mulai goyah. Banyak orang
yang sekadar beribadah ritual, tetapi tidak berusaha dan bekerja karena yakin
bahwa rejeki sudah diatur oleh Allah. Aliran ini dalam istilah modern dikenal
dengan “fatalism”. Padahal, aliran Jabariyah secara politis digunakan Muawiyah
untuk melegitimasi caranya mengalahkan Ali melalui tahkim atau arbitrase, bukan
muncul secara “murni” sebagai ajaran untuk kemaslahatan umat.
Respons atas kemelut ini, cucu Ali
Bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib membuat aliran baru yang kemudian dikenal dengan Qodariyah. Aliran
Qodariyah mengajarkan kepada umat Muslim bahwa manusia memiliki kehendak dan
bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Allah tidak memiliki
ikut campur dalam setiap kehendak manusia. Dalil Al Quran yang populer untuk
melegitimasi aliran ini adalah QS Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya: “Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri.”
Aliran Qodariyah muncul sebagai
doktrin untuk melawan dan melakukan kritik terhadap aliran Jabariyah yang kian
meresahkan umat. Pencuri pun akan mengaku bahwa apa yang dia lakukan adalah
kehendak Allah. Dari sini aliran Jabariyah mulai luntur seiring runtuhnya
kekhalifahan Muawiyah (Umayah) yang diganti dengan kekhalifahan Dinasti
Abassiyah. Pada pemerintahan Dinasti Abassiyah ini, doktrin Qodariyah menjadi
aliran paling populer hingga menjadi pondasi dan semangat untuk melakukan
pembangunan negara. Tak ayal, paham Qodariyah paling tidak membantu Dinasti
Abassiyah untuk melakukan reformasi besar-besaran dan menjadi negara maju dalam
berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan.
Seiring populernya aliran Qodariyah,
paham ini kemudian mengalami metamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah yang serba
menggunakan logika dalam setiap ijtihadnya. Bahkan, keturunan Abas selanjutnya
menjadikan ajaran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara di mana setiap warga
wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai aliran pemikiran (manhajul fikr)
umatnya. Beberapa peristiwa sampai pada pembunuhan terhadap setiap warganya
yang tidak menggunakan aliran mu’tazilah.
Berawal dari sini, seorang ulama besar pada masanya yang mulanya
pengikut Mu’tazilah dan mengatakan keluar untuk mendirikan madzab atau aliran
baru dengan semangat “maa anna alaihi wa ashabihi.” Ulama tersebut bernama Abu
Hasan Al Asy’ari. Al Asy’ari menyatakan netral, bukan menjadi bagian dari
Jabariyah atau Qodariyah atau Mu’tazilah, tetapi ia ingin membangun kembali
semangat ajaran yang dipesan Nabi Muhammad untuk mengikuti sunnah dan para
sahabatnya. Dalam hal ini, ulama besar seperti Abu Mansur Al Maturidi juga
mempelopori aliran bernama Al Maturidiyah yang juga dengan semangat “maa anna
alaihi wa ashabihi”. Dua tokoh ini bisa dikatakan sebagai bapak Ahlussunah wal
Jama’ah dalam bidang tauhid atau teologi. Sementara itu,
ulama-ulama besar yang ijtihad fiqihnya mendasarkan pada Ahlussunah kemudian
kita kenal dengan imam empat madzab, yakni Imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam
Hambali, dan Imam Maliki. Adapun ulama Aswaja di bidang tasawuf yang dikenal
pertama kali adalah Imam al Gazali dan Imam Abu Qasim Al-Junaidy.
C.
Prinsip Dasar Aswaja
Dalam sejarah perkembangannya Ahlussunnah
Wal Jamaah selalu dinamis dalam menjawab
perkembangan zaman tetapi tetap memegang prinsip dalam mengamalkan ajarannya.
Diantara prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah di dalam sejarah perkembangannya di berbagai aspek kehidupan meliputi
Aqidah, pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik
dengan penjabaran sebagai berikut:
1. Bidang aqidah
Aswaja
menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid, sebuah keyakinan
yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang
Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak
terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang
kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu
yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani
kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai
oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus
meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang
membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah
Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang
ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan
dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat
imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka
semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup
di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang
banyak beramal buruk akan masuk neraka.
2.
Bidang Istinbath al_hukm (pengambilan dasar hukum syariah)
Hampir seluruh kalangan Sunni
menggunakan empat sumber hukum yaitu:
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam
pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab
fiqh.Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan.Al-Qur’an
merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
b. As-Sunnah
As-Sunnah
meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana
diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath
al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen
(pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
c.
Ijma’
Menurut Abu
Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan
kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada
suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau
kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap
suatu hukum dari suatu kasus. Dalam
Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: Dan QS Al-Baqarah,
2: 143.
d.
Qiyas
Qiyas, sebagai
sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yaitu
mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash
hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat
dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
Imam Abu Hamid
Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja
selain Allah. kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka
adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola
hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah
membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya
sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari
Allah.” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi
adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain
kepada-Nya.
Berbeda
dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan
berdirinya negara (imamah), Pandangan Syi’ah tersebut juga
berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri
tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah
wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai
kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah,
negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan
menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah
wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah
negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau
negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang
harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang)
pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah :
Negara harus
mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan,
kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah (QS
Al-Syura, 42: 36-39)
Keadilan
adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini
tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat
dalam Al-Qur an terdapat pada QS An-Nisa, 4: 58
Negara wajib
menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan
tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip
kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams
(prinsip yang lima) yang identik dengan konsep Hak Azazi
Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah
wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip ini menjadi
ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi
setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari. Lima pokok
atau prinsip tersebut yaitu:
1)
Hifzhu
al-Nafs
(menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk
menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas
untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
2)
Hifzhu
al-Din
(menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan
Kepercayaannya. Negara
tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada
warga negara.
3) Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga
negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya
hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
4) Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul,
identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan
budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis
tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap
etnis yang hidup di wilayah negaranya.
5) Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri,
kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara
tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara
justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap
warga negara.
Bahwa
manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain,
bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia
atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah
untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu
manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Hai ini
termaktub dalan QS. Al-Hujuraat, 49: 13
Perbedaan
bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari
relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang
Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah; 5: 48
Dalam sebuah
negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh
pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki
jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan
bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata
hukum.Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di
dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas
ekonomi dan jabatan politik.
Dengan
prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi
Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana
pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk
mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya
diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun
kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
D. Karakteristik Aswaja
Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan
Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah
sebagai landasan dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu
Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan
karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari
konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain:
Tawassuth
berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam berbagai
masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran ke
kiri atau ke kanan secara berlebihan
I’tidal berarti
tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri.I’tidal juga
berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus
dibela.
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada,
mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa
mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam
masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak
kelebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.
Amar ma’ruf
nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat bagi
kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal
yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai
moral keagamaan dan kemanusiaan.
BAB III
SIMPULAN
Aswaja
merupakan singkatan dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang memiliki pengertian
sebagai komunitas orang-orang yang selalu berpedoman
kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat
dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati yang tidak hanya bergantung kepada al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi
dan mengakomodasi warisan pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan
orang-orang salih yang sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi.
Sejarah
Aswaja berawal dari kehidupan sosial politik sejak masa pemerintahan Sayyidinaa
‘Ali yang memiliki pengikut fanatis yang kemudian memiliki saingan dan
menjadikan kaum muslim terbagi dalam 3 golongan yang kemudian bertambah dengan
munculnya Jabariyah yang kemudian disaingi aliran Qodariyah dimana kemudian
berkembang menjadi aliran Mu’tazilah. Seorang pembesar Mu’tazilah kemudian
keluar dari paham Mu’tazilah dan membentuk aliran baru yang mengembalikan pada
prinsip ajaran Nabi. Inilah paham aliran Aswaja yang kemudian berkembang ke
seluruh penjuru dunia termasuk ke Indonesia.
Aswaja memiliki 4 Prinsip dasar yang
mencakup 4 bidang kehidupan yaitu Aqidah, Istinbath Al-hukm, Tasawwuf dan
sosial politik.
DAFTAR
PUSTAKA
Andim,Fauzul.2013. Aswaja Menurut KH
Hasyim Asy'ari dan KH Aqil Sirodj.http//: Abimanyu Blora Aswaja Menurut KH Hasyim Asy'ari dan KH Aqil
Sirodj.html. Diakses 14 Maret 2016.
Alim,
Achmad Miftachul.2014. PENGERTIAN ASWAJA, KARAKTERISTIK,
PRINSIP, EKSISTENSI DALAM KEHIDUPAN MODERN.http //: PENGERTIAN ASWAJA,
KARAKTERISTIK, PRINSIP, EKSISTENSI DALAM KEHIDUPAN MODERN - Materi
Lengkap.html. Diakses 14 Maret 2016.
No
Name.2014. Sejarah Lengkap Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).http//: Sejarah Lengkap
Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) _ Islam Cendekia.html.Diakses 14 Maret 2016.